Bolehkah Eka Mencinta?
all photos by: Corbis.com
” Lo kan sohibnya banget Ka. Makanya gue minta tolong kasihin surat ini ke dia”
”N-Nuri??” tenggorokanku tercekat, mataku membelalak tak percaya
”Gue udah lama suka sama dia, anaknya lucu banget sih. Gue sering liatin dia kalo dia lagi maen ke rumah lo” Wajah Andre memerah dan tersenyum sipu.
Aku menoleh cepat ke arah Nuri. Gadis manis berambut keriting yang telah menjadi sahabatku semenjak SD. Gadis berkawat gigi yang tahu rahasiaku yang terdalam, kini jadi sasaran rasa cinta Andre. Sebuah perasaan cinta yang kuharap dengan sungguh hanya untukku.
Nuri balas menatapku dengan matanya yang polos. Tangannya memainkan ujung sweater birunya yang basah.
Andre melirik ke jam tangannya dan berlari sambil tergesa.
” Wah Ka, gue musti cabut nih, musti ke Imigrasi buat bikin foto paspor. Eh, please tolongin gue ya? Jangan lupa” Ujar Andre penuh harap sambil sesekali mencuri pandang ke arah Nuri. Tak lama ia pun melesat pergi dengan motornya.
Aku tetap terdiam menatap lekat ke arah Nuri.
”Ka? Eka? Andre bilang apa?” mata Nuri berbinar penasaran.
”Dia nitip ini buat Lo” Aku melempar cepat amplop sialan itu ke dada Nuri.
Nuri tergagap menangkapnya sambil berteriak
” Ekaa..Lo kenapa?”
Air mata jatuh perlahan saat aku bergegas menaiki tangga kamarku. Kuhempaskan tubuh ringanku ke atas tempat tidur dan segera terisak diantara dekapan bantal.
Mama yang berada di kamar sebelah pun segera melongok ke kamarku.
”Eka? Kamu kenapa? Berantem sama Nuri ya?”
Aku terisak
”Hmmh...Udah dong, masa anak lelaki nangis. Malu kan”
Aku tersentak.
Ucapan Mama bagai ujung pisau yang menoreh hatiku.
Andaikan Mama tahu, alasan aku menangis, justru karena aku seorang anak laki-laki!
Selasa 17 April.
Mencintai seorang pria adalah suatu cara untuk menyiksa diri sendiri hingga seluruh jiwa-raga puas tercabik-cabik.Tanpa nyawa dan tak bersisa.
Karena cinta adalah definisi mutlak dari siksaan dan pria adalah kaki tangannya.
”Ekaa!!!”
Aku menoleh, seorang gadis berambut keriting tersenyum lebar memamerkan kawat gigi keramiknya. Nafasnya tersengal karena berlari menaiki tangga menuju kamarku.
Lalu dengan seenak perut dia menghempaskan badan mungilnya di punggungku dan tak sengaja membuat goresan panjang melintasi jurnal pink yang sedang asyik kutulis.
”Nuri, udah gue bilang sejuta kali jangan ngagetin gue waktu gue nulis!” Ujarku marah. Dan sebuah bantal kecil mendarat sukses di atas wajah mungilnya.
”Whooaa...easy does it....Tenang dong darling, abis gue kan udah ngga sabar pengen tau gimana hasilnya” Nuri tertawa sambil balas melempar bantal sial itu ke kepalaku.
Aku terdiam dan merapikan rambutku. Aku sudah tau Nuri akan menanyakan itu.
”Ka...Lo udah ngomong ke dia kan? Kalian kan kemaren seharian jalan berdua, masa lo masih takut juga?” senyum lebar Nuri memudar, ekspresi wajahnya penuh tanda tanya.
Aku menggeleng.
Nuri menghela nafas.
”Cinta kalo ngga diucapin bakal nyiksa Ka. Lo harus bilang kalo lo suka sama dia. Ups sorry..bukan cuma suka. Elo terobsesi sama dia. Elo CINTA sama Andre!”
Aku menjawabnya dengan tangisan pelan. Tangisan dari pedihnya hati paling dalam.
Nuri memang sahabatku terbaik. Dia mengenal segalanya tentang aku. Tentang betapa Aku rindu untuk mencintai Andre, cowok sebelah rumah yang telah kukenal hampir separuh dari hidupku.
”Gue ngga bisa Ri. Gimana kalo dia ngga seperti yang gue pikir”
”Eka, lo berdua tuh punya banyak kesamaan. Dia suka kaktus, lo juga. Lo suka nonton fashion TV, dia juga nonton itu tiap hari”
Aku masih terdiam memeluk jurnalku. Mungkin Nuri benar.
”Gue pernah mergokin loh, waktu kita lewat depan rumahnya waktu itu, matanya ngeliatin elo terus” propaganda Nuri terus meluncur, mencoba meyakinkanku.
”Tapi, gimana kalo dia bukan…” Mataku nanar memandang ke jendela rumah. Tepat di seberang jendela, terletak kamar Andre yang berhadapan langsung dengan kamarku.
“Well, kalo gitu berarti ngga jodoh. Udahlah, bilang aja Ka… you have nothing to lose”
”Kalo dia bilang ke semua orang, I’ll lose everything Nuri! Let’s face it, semuanya enggak se-simple itu!”
Dan memang segala sesuatu di hidupku tidak akan pernah sesimple itu.
*******
Rabu, 18 April
Ada waktu untuk menanam.
Ada waktu untuk menuai.
Ada waktu untuk putus asa dan patah se-patah-patahnya
Ada waktu untuk jatuh cinta dan menyatakannya.
Semoga saja waktu kini berpihak padaku.
Semoga...
Hari ini, Nuri ke rumahku sambil membawa sebuah kaktus dalam pot warna coklat. Entah ada dewa dari surga agraris mana yang merasuki kepala keritingnya dan memberinya ilham untuk menanam kaktus di halaman depan rumahku.
”Hari Rabu kan hari bercocok tanam Ka!”
Hmm... satu lagi dalil konyol ala Nuri, pikirku. Lalu tiba-tiba Nuri menyorongkan pot kaktus itu dalam pelukanku dan menarik tanganku dengan paksa.
”What the...???”
Dengan tertawa terbahak Nuri menarik tanganku dan menyeretku hingga halaman depan.
”Ayoo...daripada manyun melototin jendela tetangga sambil nulis jurnal engga jelas!”
Nafas kami tersengal saat tiba di halaman depan rumahku. Rimbun pohon jambu dan tanaman Anggrek milik Mama menyambut dua anak 16 tahun yang cekikikan sambil memeluk pot kaktus.
Tepat dihadapanku berjejer sederetan kaktus bermacam jenis yang telah kukoleksi selama beberapa tahun terakhir ini. Andre yang mengajariku segalanya tentang kaktus, dan setelah kupikir-pikir sepertinya dialah alasan mengapa aku menyukai tanaman kekar dan berduri itu.
Nuri meletakkan pot kaktusnya di deretan pot-pot mungil itu.
”Ini kaktus madu Ka, rada susah lo nyarinya. Oiyah, tadinya Opa ngelarang gue nanem kaktus, soalnya kalo belom nikah trus nanam kaktus, katanya bisa berat jodoh. Tapi gue sih cuek aja, abis elo kan suka banget kaktus. Lagian, who cares about jodoh, if we have each other, right?”
Aku tau dia mencoba untuk menghiburku dan mengajakku melupakan wajah Andre dari kepalaku. Ah, Nuri yang manis.
“Amen, sister..hahahaha” kataku sambil mengacak rambut keritingnya.
Di pagi itu, Aku, Nuri dan sebongkah kaktus madu siap menjalani hari yang menyenangkan. Hari bercocok tanam itu kini berubah menjadi hari-main-semprot-semprotan-pakai selang air. Kami berteriak dan saling menyiramkan air dengan brutalnya. It was soo much fun, hingga sesosok cowok tinggi dengan rambut kecoklatan dan mata yang setajam elang mendekati kami.
“A..Andre?”
“Hei Ka,lagi sibuk?”
”Hah? Eng..enggak kok” Tangan gugupku menjatuhkan selang air. Dalam hati aku mengutuk Nuri karena membuatku tampil dengan badan basah kuyup di hadapan Andre.
”Ada yang mau gue omongin sama elo, bedua aja”
Dengan wajah berbinar seperti ada sejuta kunang-kunang menghiasi wajahku, aku pun bergegas merapikan rambutku yang kuyup dan mengajak cowok ganteng itu ke teras rumah.
”Ka, minggu depan gue mau ke Melbourne, gue mau kuliah di sana”
”M...Melbourne?” mendadak lidahku kelu, seperti ada listrik 1500 volt menyambar dan menyengat kepala.
”Iya, gue dapet beasiswa. Hari Sabtu depan ini ada farewell party di rumah.Yah, cuma keluarga sama temen deket aja sih Ka. Lo dateng ya?”
”Iyalah, pasti Ndre..” aku menjawab lirih
” Oiya satu lagi...ada yang sebenernya pengen gue omongin dari lama. Tapi gue engga berani ngomongnya”
Aku menelan ludah.Mungkinkah dia mengucapkan yang kupikirkan?
Tangan Andre merogoh saku jaketnya dan jari-jari kekarnya menggenggam erat kertas warna putih. Sebuah amplop! Sebuah surat cinta?!
”Perasaan ini udah gue pendam lama Ka. Tapi sampe sekarang gue ngga berani ngomongnya”
” Andre...gue juga….”
”Gue butuh bantuan lo Ka” Dia menghempaskan amplop itu ke telapak tanganku.
Amplop putih dengan sedikit semburat pink muda di sudutnya itu kini ada di genggamanku. Sebuah tulisan tangan jelas terbaca...
Mencintai seorang pria adalah suatu cara untuk menyiksa diri sendiri hingga seluruh jiwa-raga puas tercabik-cabik.Tanpa nyawa dan tak bersisa.
Karena cinta adalah definisi mutlak dari siksaan dan pria adalah kaki tangannya.
”Ekaa!!!”
Aku menoleh, seorang gadis berambut keriting tersenyum lebar memamerkan kawat gigi keramiknya. Nafasnya tersengal karena berlari menaiki tangga menuju kamarku.
Lalu dengan seenak perut dia menghempaskan badan mungilnya di punggungku dan tak sengaja membuat goresan panjang melintasi jurnal pink yang sedang asyik kutulis.
”Nuri, udah gue bilang sejuta kali jangan ngagetin gue waktu gue nulis!” Ujarku marah. Dan sebuah bantal kecil mendarat sukses di atas wajah mungilnya.
”Whooaa...easy does it....Tenang dong darling, abis gue kan udah ngga sabar pengen tau gimana hasilnya” Nuri tertawa sambil balas melempar bantal sial itu ke kepalaku.
Aku terdiam dan merapikan rambutku. Aku sudah tau Nuri akan menanyakan itu.
”Ka...Lo udah ngomong ke dia kan? Kalian kan kemaren seharian jalan berdua, masa lo masih takut juga?” senyum lebar Nuri memudar, ekspresi wajahnya penuh tanda tanya.
Aku menggeleng.
Nuri menghela nafas.
”Cinta kalo ngga diucapin bakal nyiksa Ka. Lo harus bilang kalo lo suka sama dia. Ups sorry..bukan cuma suka. Elo terobsesi sama dia. Elo CINTA sama Andre!”
Aku menjawabnya dengan tangisan pelan. Tangisan dari pedihnya hati paling dalam.
Nuri memang sahabatku terbaik. Dia mengenal segalanya tentang aku. Tentang betapa Aku rindu untuk mencintai Andre, cowok sebelah rumah yang telah kukenal hampir separuh dari hidupku.
”Gue ngga bisa Ri. Gimana kalo dia ngga seperti yang gue pikir”
”Eka, lo berdua tuh punya banyak kesamaan. Dia suka kaktus, lo juga. Lo suka nonton fashion TV, dia juga nonton itu tiap hari”
Aku masih terdiam memeluk jurnalku. Mungkin Nuri benar.
”Gue pernah mergokin loh, waktu kita lewat depan rumahnya waktu itu, matanya ngeliatin elo terus” propaganda Nuri terus meluncur, mencoba meyakinkanku.
”Tapi, gimana kalo dia bukan…” Mataku nanar memandang ke jendela rumah. Tepat di seberang jendela, terletak kamar Andre yang berhadapan langsung dengan kamarku.
“Well, kalo gitu berarti ngga jodoh. Udahlah, bilang aja Ka… you have nothing to lose”
”Kalo dia bilang ke semua orang, I’ll lose everything Nuri! Let’s face it, semuanya enggak se-simple itu!”
Dan memang segala sesuatu di hidupku tidak akan pernah sesimple itu.
*******
Rabu, 18 April
Ada waktu untuk menanam.
Ada waktu untuk menuai.
Ada waktu untuk putus asa dan patah se-patah-patahnya
Ada waktu untuk jatuh cinta dan menyatakannya.
Semoga saja waktu kini berpihak padaku.
Semoga...
Hari ini, Nuri ke rumahku sambil membawa sebuah kaktus dalam pot warna coklat. Entah ada dewa dari surga agraris mana yang merasuki kepala keritingnya dan memberinya ilham untuk menanam kaktus di halaman depan rumahku.
”Hari Rabu kan hari bercocok tanam Ka!”
Hmm... satu lagi dalil konyol ala Nuri, pikirku. Lalu tiba-tiba Nuri menyorongkan pot kaktus itu dalam pelukanku dan menarik tanganku dengan paksa.
”What the...???”
Dengan tertawa terbahak Nuri menarik tanganku dan menyeretku hingga halaman depan.
”Ayoo...daripada manyun melototin jendela tetangga sambil nulis jurnal engga jelas!”
Nafas kami tersengal saat tiba di halaman depan rumahku. Rimbun pohon jambu dan tanaman Anggrek milik Mama menyambut dua anak 16 tahun yang cekikikan sambil memeluk pot kaktus.
Tepat dihadapanku berjejer sederetan kaktus bermacam jenis yang telah kukoleksi selama beberapa tahun terakhir ini. Andre yang mengajariku segalanya tentang kaktus, dan setelah kupikir-pikir sepertinya dialah alasan mengapa aku menyukai tanaman kekar dan berduri itu.
Nuri meletakkan pot kaktusnya di deretan pot-pot mungil itu.
”Ini kaktus madu Ka, rada susah lo nyarinya. Oiyah, tadinya Opa ngelarang gue nanem kaktus, soalnya kalo belom nikah trus nanam kaktus, katanya bisa berat jodoh. Tapi gue sih cuek aja, abis elo kan suka banget kaktus. Lagian, who cares about jodoh, if we have each other, right?”
Aku tau dia mencoba untuk menghiburku dan mengajakku melupakan wajah Andre dari kepalaku. Ah, Nuri yang manis.
“Amen, sister..hahahaha” kataku sambil mengacak rambut keritingnya.
Di pagi itu, Aku, Nuri dan sebongkah kaktus madu siap menjalani hari yang menyenangkan. Hari bercocok tanam itu kini berubah menjadi hari-main-semprot-semprotan-pakai selang air. Kami berteriak dan saling menyiramkan air dengan brutalnya. It was soo much fun, hingga sesosok cowok tinggi dengan rambut kecoklatan dan mata yang setajam elang mendekati kami.
“A..Andre?”
“Hei Ka,lagi sibuk?”
”Hah? Eng..enggak kok” Tangan gugupku menjatuhkan selang air. Dalam hati aku mengutuk Nuri karena membuatku tampil dengan badan basah kuyup di hadapan Andre.
”Ada yang mau gue omongin sama elo, bedua aja”
Dengan wajah berbinar seperti ada sejuta kunang-kunang menghiasi wajahku, aku pun bergegas merapikan rambutku yang kuyup dan mengajak cowok ganteng itu ke teras rumah.
”Ka, minggu depan gue mau ke Melbourne, gue mau kuliah di sana”
”M...Melbourne?” mendadak lidahku kelu, seperti ada listrik 1500 volt menyambar dan menyengat kepala.
”Iya, gue dapet beasiswa. Hari Sabtu depan ini ada farewell party di rumah.Yah, cuma keluarga sama temen deket aja sih Ka. Lo dateng ya?”
”Iyalah, pasti Ndre..” aku menjawab lirih
” Oiya satu lagi...ada yang sebenernya pengen gue omongin dari lama. Tapi gue engga berani ngomongnya”
Aku menelan ludah.Mungkinkah dia mengucapkan yang kupikirkan?
Tangan Andre merogoh saku jaketnya dan jari-jari kekarnya menggenggam erat kertas warna putih. Sebuah amplop! Sebuah surat cinta?!
”Perasaan ini udah gue pendam lama Ka. Tapi sampe sekarang gue ngga berani ngomongnya”
” Andre...gue juga….”
”Gue butuh bantuan lo Ka” Dia menghempaskan amplop itu ke telapak tanganku.
Amplop putih dengan sedikit semburat pink muda di sudutnya itu kini ada di genggamanku. Sebuah tulisan tangan jelas terbaca...
To: Nuri
” Lo kan sohibnya banget Ka. Makanya gue minta tolong kasihin surat ini ke dia”
”N-Nuri??” tenggorokanku tercekat, mataku membelalak tak percaya
”Gue udah lama suka sama dia, anaknya lucu banget sih. Gue sering liatin dia kalo dia lagi maen ke rumah lo” Wajah Andre memerah dan tersenyum sipu.
Aku menoleh cepat ke arah Nuri. Gadis manis berambut keriting yang telah menjadi sahabatku semenjak SD. Gadis berkawat gigi yang tahu rahasiaku yang terdalam, kini jadi sasaran rasa cinta Andre. Sebuah perasaan cinta yang kuharap dengan sungguh hanya untukku.
Nuri balas menatapku dengan matanya yang polos. Tangannya memainkan ujung sweater birunya yang basah.
Andre melirik ke jam tangannya dan berlari sambil tergesa.
” Wah Ka, gue musti cabut nih, musti ke Imigrasi buat bikin foto paspor. Eh, please tolongin gue ya? Jangan lupa” Ujar Andre penuh harap sambil sesekali mencuri pandang ke arah Nuri. Tak lama ia pun melesat pergi dengan motornya.
Aku tetap terdiam menatap lekat ke arah Nuri.
”Ka? Eka? Andre bilang apa?” mata Nuri berbinar penasaran.
”Dia nitip ini buat Lo” Aku melempar cepat amplop sialan itu ke dada Nuri.
Nuri tergagap menangkapnya sambil berteriak
” Ekaa..Lo kenapa?”
Air mata jatuh perlahan saat aku bergegas menaiki tangga kamarku. Kuhempaskan tubuh ringanku ke atas tempat tidur dan segera terisak diantara dekapan bantal.
Mama yang berada di kamar sebelah pun segera melongok ke kamarku.
”Eka? Kamu kenapa? Berantem sama Nuri ya?”
Aku terisak
”Hmmh...Udah dong, masa anak lelaki nangis. Malu kan”
Aku tersentak.
Ucapan Mama bagai ujung pisau yang menoreh hatiku.
Andaikan Mama tahu, alasan aku menangis, justru karena aku seorang anak laki-laki!
Author: Kurnia Setyarini
Published @ Gogirl! Magazine 2006
Labels: read worthy
9 Comments:
nice story, Ni...
and welcome to the blog world also dear :)
6:39 PM
wakks..trimakasih-trimakasih
8:39 PM
Nia... tulisan kamu bagus. Jangan berenti nulis yaaaa... masa kalah ama AE di atas tuh...
hehehe
welcome, nevertheless...
break your pen!
1:29 AM
nia..
keberanian kamu mengatakan keadaan kamu yang sesungguhnya, meskipun itu tercermin dari mata seorang pria..
jadi agung cuma pelarian ya??
hhihiih
keep on writing.. good stuff.
twistnya cuma berada di satu kalimat..
agensi banget..haha
cheers.
10:00 PM
Aryyy...
cuma ada satu kata buat elo:
KAMPRETTTTSSSS!!!
12:50 AM
... dan betapa nama bisa menjebak seseorang (saya! maksudnya), kemudian betapa cinta mesti dimaklumi meski cinta "bertema" tidak biasa.. Hmmm nice!
8:09 PM
hihi..
ternyata EKA-nya CONG toh?????
igh......... kirain!
:P
7:54 PM
Laki kok suka laki seeehhhh???????
hahahaha!
7:56 PM
Fa..
yahhh...namanya juga cinta..
hahahaha
12:48 AM
Post a Comment
<< Home