Yes, I laugh a lot, cried a lot, love a lot, hate a lot, bitch a lot, complained a lot, joke a lot, yet only write a small portion of it. Oh well.

Wednesday, February 01, 2006

Keputusan Yang Terbaik



Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok
Jam di dinding menunjukkan waktu pukul 11.50 malam. Suasana begitu sunyi, bahkan halus nafas Elok pun terdengar nyaring. Tepat sepuluh menit lagi, gadis manis berambut sebahu itu akan mengakhiri hidupnya. Serbuk silica gel telah dicampurkannya dalam segelas teh manis. Tekadnya sudah mantap, ia akan bunuh diri dengan meminum teh beracun itu. Tadinya dia punya rencana untuk mengiris nadi dengan pisau cutter, tapi diurungkannya, karena gadis 17 tahun itu takut melihat darah. How ironic is that?

Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok
”Mengapa Rendra?” isaknya tanpa air mata. Jelas sekali kelenjar air mata gadis itu sudah kering karena terkuras isinya. Kering tak bersisa.

Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok
Elok pun menunggu.

***
The Lounge, Jakarta. Juli, 4 tahun yang lalu

“Jadi kamu ngga lulus tes?” tanya Rendra sambil menyeruput kopi pahitnya.
Elok menggeleng
Rendra merapatkan pelukannya ke tubuh mungil Elok. Gadis itu pun menyenderkan kepala ke bahu kekasihnya.
”Kayaknya impian aku buat kuliah seni rupa di ITB udah ancur, Ren”
”Elokku sayang, kan tahun depan masih ada kesempatan” Rendra mencoba menghibur
”Tapi aku pengen cepet-cepet kuliah di Bandung sama kamu Ren”
”Aku ngerti sayang, aku ngerti. Eh, tapi ada loh satu tes yang kamu pasti lulus” Rendra tersenyum jahil. Elok tau pasti ini pertanyaan yang jauh dari serius.
”Apaan?”
”Tes urin”
”Rendra jahaaaaaat” Elok segera mendorong tubuh kekasihnya itu hingga terhuyung jatuh dari sofa.
Keduanya pun tenggelam dalam tawa. Kalau ada seseorang yang paling bisa membuat Elok tertawa, orang itu adalah Rendra. Lelaki yang menghiasi hati gadis itu semenjak dua tahun terakhir ini.
Banyak yang melarang cinta mereka. Terutama keluarga Elok, karena mereka masih menganggap Rendra tetap seorang pemakai narkoba, meskipun sudah 6 bulan ini Rendra terbebas dari pengaruh benda haram itu. Di mata siapa pun Rendra tetaplah seorang junkie yang bisa sewaktu-waktu kumat.
Walau begitu Elok tetaplah seorang gadis remaja yang dimabuk cinta, dan sungguh ia mencintai Rendra dengan teramat sangat.

***
Stasiun Gambir, Agustus, 4 tahun yang lalu

Sesosok lelaki muda berdiri di dekat peron. Kekasihnya menggelayut manja di bahunya, seperti enggan untuk melepaskan prianya itu.

”Ren, maaf ya, Mama nyuruh aku kuliah di Jakarta aja. Katanya biar tetep deket sama dia”
”Tetep dekat sama Mama, atau biar tetep jauh dari aku?”
Elok terdiam
”Engga pa-pa kok sayang, nanti kalo liburan aku ke sini deh. Then, I’m all yours baby”
Rendra mengecup lembut kening Elok
”Ati-ati ya Ren” Elok balas membelai lembut rambut Rendra.
Sore itu sepasang kekasih saling menggelayutkan hati mereka yang enggan berpisah

***
Rumah Sakit di Bandung, 7 hari yang lalu

“Ini engga mungkin…” isak Elok tak percaya
Rendra tergolek lemah di tempat tidur, selang oksigen dan infus malang-melintang di atas tubuh ringkihnya.
”Sudah 3 hari ini kondisinya makin memburuk Lok. Virus itu makin lama makin menggerogoti dia” Ibu Rendra berucap dengan tegar. Wanita paruh baya itu sudah kehilangan daya untuk menangis.
Rendra positif terkena HIV-AIDS. Pergaulannya di Bandung makin tak terkendali, lelaki muda ex-junkie itu kembali memakai putau dan shabu. Uang saku dan biaya kuliahnya, habis mengalir ke kantong bandar-bandar narkoba. Semua terjadi diluar sepengetahuan Elok.

Sudah hampir setengah tahun belakangan ini Rendra tidak membalas email, SMS apalagi menelpon Elok ke Jakarta. Jika Elok menelpon, Rendra tampak menghindar dan menyembunyikan sesuatu. Hingga suatu hari, Elok nekat menyusul Rendra ke Bandung. Elok pergi diam-diam. Nginep di rumah temen, buat cari bahan skripsi, adalah alasan Elok untuk Mama.Semua itu demi melepaskan rindu pada Rendra, meskipun hanya untuk semalam. Dan pertemuan mereka di hotel murah di pinggir kota bandung itu, akan merubah hidup Elok untuk selamanya.

”Tante tinggal sebentar ya Lok, tolong jaga Rendra ya?” kata wanita itu sambil mengemas berkas-berkas resep yang hendak ditebusnya.
”I-iya Tante”
Pintu kamar menutup, dan tinggallah Elok berdua dengan Rendra. Di kepala gadis itu ada begitu banyak tanda tanya.

”L-lok..maafin aku..” Rendra mengucap lirih
”Kenapa kamu engga pernah bilang?”
”Aku takut. Aku malu. Aku takut kehilangan kamu“
Tangis Elok pecah
”T-tapi..berarti...mungkin kamu juga bikin aku kena AIDS kan Ren? Malam itu di hotel... berarti kamu sebenarnya udah terinfeksi, tapi kamu ngga bilang sama aku. Kamu bahkan ngga pernah bilang kalo kamu nyuntik lagi.!!!” Elok menjerit tak tertahan.
”Waktu itu aku belum tau Lok, badan dan otak aku terlalu kacau buat periksa ke dokter...”
Rendra berhenti untuk menghela nafas yang Ia perlukan untuk mengucap kalimat selanjutnya
”S-sampe aku pingsan di tangga kos-kosan, baru temen-temen aku bawa aku ke rumah sakit...”
”Ren, sepertinya aku harus cek darah”
Rendra mengangguk lemah.

Keesokan harinya Elok mengunjungi salah satu dokter ternama di Jakarta untuk memeriksakan darahnya.

”Hasilnya tesnya mungkin 4 hari. Kemungkinan hasilnya negatif sepertinya kecil, mengingat kalian waktu itu tidak pakai...”
”I-iya dok..”
Elok pun menunggu dalam gelisah luar biasa.

4 hari kemudian, Elok merasa dunianya runtuh berkeping-keping. Virus itu positif hadir dalam hidupnya.


***
Kamar Elok, 11.55 WIB

Tangan gemetar Elok menggenggam lemah gelas mematikan itu. Detik-detik berlalu, dan nyawanya akan hilang sesaat setelah tengah malam.

Tiba-tiba pintu kamar Elok terdobrak paksa. Entah kekuatan dahsyat darimana yang membuat seorang wanita renta yang setengah lumpuh mampu menggebrak pintu kamar anak gadisnya.

”Eloook...jangaan!” Mama berteriak dan berjalan dengan dibantu oleh tongkat berjalannya. Semenjak dia tau Elok positif HIV, wanita itu terserang stroke ringan yang membuat langkah rentanya bertumpu pada sebatang tongkat bambu.

”M-ma..Elok ngga kuat Ma..”ujar Elok, lirih.
”Hidupmu berharga Elok...bunuh diri itu tindakan yang egois”
Tangan Elok semakin gemetar. Ia terdiam dalam awang-awang pikirannya sendiri
”Kamu egois..kamu ngga mikir Mama. Sehari-semalam Mama menyabung nyawa waktu melahirkanmu. Semua sakit Mama tahan, karena Mama ingin kamu hidup, sayang” tangan keriput Mama berpegang erat pada tongkat bambunya, badannya condong ke depan seakan hendak memeluk tubuh anak perempuan satu-satunya itu.

”Mama minta Elok tetap hidup, sampai Tuhan meminta Elok kembali”
Kepala Elok terasa begitu ringan, seperti ada pencerahan dalam benaknya. Ia menyadari kini, seharusnya ia mencintai Mama lebih dari rasa cintanya buat Rendra. Dalam hati ia berharap semoga belum terlambat.
Tak lama kemudian tangis Elok memecah, begitu pula gelas beracun di tangannya.
”Maafin Elok, Ma. Elok mau hidup”
Gadis belia itu memeluk ibunya dengan erat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ia ingin menggelayutkan hidupnya pada wanita yang melahirkannya.
”Seumur hidup, Elok akan terus sayang sama Mama”

Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok
Jarum jam tepat di angka 12 dan kini Elok merasa seperti hidup kembali.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home