Yes, I laugh a lot, cried a lot, love a lot, hate a lot, bitch a lot, complained a lot, joke a lot, yet only write a small portion of it. Oh well.

Monday, February 18, 2008

Indonesian Sicko : Apakah kita lebih beruntung dari Amerika?


Weekend kemarin, saya seperti biasa menonton Oprah.

Kali ini dia mewawancarai Michael Moore tentang film dokumenternya yang berjudul "Sicko". Memang ini film dokumenter yang rilisnya lumayan lama (pertengahan 2007 kalo ngga salah). Tapi ternyata, isinya menarik banget...tentang kebobrokan sistem kesehatan di Amerika.

Dan wow! Selama ini kita pikir bahwa negara adikuasa seperti Amerika pastilah rakyatnya penuh kemakmuran dan mendapatkan akses mudah ke berbagai kebutuhan asasi seperti pendidikan dan kesehatan.

Nyatanya ada 50 juta warga Amerika yang tak memiliki asuransi kesehatan dan 250 juta lainnya yang memiliki asuransi kesehatan tidak mendapatkan kemudahan klaim yang dijanjikan (jadi bisa dibayangkan nasib yang 50 juta orang yang tak punya asuransi..slese deh hidupnya).


Bahkan pemegang asuransi yang nyata-nyata didiagnosa kanker otak, ditolak klaim perawatannya, dengan alasan "it is not a life-threatening disease" (!!!!)..hello? sejak kapan kanker bukan penyakit mematikan???

Dan seorang ibu muda lain yang menderita kanker serviks, ditolak klaim perawatannya karena: "You're 22, you can not have cervical cancer...you're too young" (wakkwaaaww???....sinting, emang situ Tuhan?)

Bahkan Kuba yang notabene negara komunis, memiliki layanan kesehatan gratis dan obat-obatan yang lebih murah. Mau tau seberapa jauh perbedaannya? Just compare an inhaler cost $127 in USA vs 5 cent of the same drug in Cuba.

Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia. Setelah issue pemberantasan korupsi dan pendidikan gratis, kesehatan gratis menjadi salah satu materi kampanye politik yang efektif.

Di Indonesia, kalau kita bandingkan, pengobatan di Puskesmas berkisar Rp.2000 (kira-kira 20-25 cent Amerika) untuk biaya konsultasi dokter, sedangkan untuk obat-obatan Rp.5000 - Rp 10.000 (kira-kira 50 cent - 1 US$ 1).

Kalo kamu seorang pekerja swasta seperti saya, yang beruntung memiliki asuransi kesehatan dari kantor, dan biaya pengobatan 80% ditanggung kantor,maka layanan kesehatan bisa menjadi hal terakhir yang perlu dipikirkan.

Atau jika kamu pegawai negeri atau anak dari pegawai negeri, maka beruntunglah kamu karena ada ASKES (asuransi kesehatan khusus pegawai negeri), yang walaupun agak sulit prosedurnya, tapi biaya rumahsakit bisa jauh lebih murah.

Atau jika kamu tidak memiliki asuransi atau askes atau jamsostek, masih ada puskesmas dan obat generik yang murah.

Benarkah kita seberuntung itu?

Masalahnya seperti berbagai hal lain di Indonesia, seperti pendidikan contohnya, masalah kesehatan juga tak lepas dari segi komersialisasi.

Malpraktek dokter menjadi hal yang kerap terjadi, penulisan resep yang berbau komersialisasi (karena telah ada "deal" dengan pedagang obat) bahkan sugesti medis yang berdasarkan profit juga sering terjadi.

Contoh kasus 1:
Ibu saya.

Oleh dokter spesialis di RS. Pasar Rebo, ia didiagnosa menderita tumor di payudaranya. Dulu saat mudanya, ibu saya memang pernah dioperasi payudaranya karena tumor jinak. Dokter di rumah sakit itu menyarankan operasi, yang bisa memakan biaya hingga 7 juta rupiah.
Karena merasa tak puas dengan vonis ini, maka saya dan Ibu saya mencari 2nd opinion ke RS.Dharmais, di sana Ibu saya diperiksa lewat berbagai test, dan akhirnya menerima keputusan dokter bahwa benjolan di payudara itu tak lebih dari bekas parut luka yang melengkung (bukan tumor, apalagi tumor ganas) dan sama sekali tak perlu operasi.
Bisa dibayangkan kalau ibu saya tak mencari 2nd opinion dan akhirnya dioperasi?? 7 mio would vanish because of a careless, unprofessional and money oriented docter decided to cut my mother's breast.

Contoh kasus 2:
Tante Saya.

Tante saya adalah seorang pekerja kesehatan di Departemen Kesehatan. Suatu saat ia meninjau ke sebuah rumah sakit swasta di Semarang. Di sana dia bertemu dengan seorang dokter muda yang baru saja memberi resep antibiotik kepada seorang pasien. Ia heran kenapa si dokter baru itu hanya memberi resep 1/2 dosis yang dianjurkan (mustinya 6 hari pemakaian, tapi si dokter cuma ngasi buat 3 hari). Si dokter hanya menjawab enteng, "Ya biar dia besok-besok datang lagi"

Sinting bukan?!

Dan masih banyak cerita lainnya, yang saya yakin kamu pun punya cerita sendiri tentang ke-tidak-profesional-an beberapa oknum tenaga medis.

Kasus-kasus kesehatan yang di luar credo dokter banyak bertebaran di berbagai rumah sakit. Bahkan banyak orang kaya di Indonesia yang lebih memilih berobat ke Singapura karena takut dia atau keluarganya menjadi korban mal-praktek.

Sicko adalah sebuh cermin bagi pemerintah kita, bagi tenaga kesehatan di negeri ini, dan terutama bagi kamu dan saya. Bahwa, kualitas dan kebesaran suatu bangsa diukur dari cara pemerintahnya mengurus orang terlemah dari rakyatnya. Mungkin kita lebih beruntung, mungkin juga kita sama merana-nya.

Satu hal yang pasti, menjadi sehat adalah hak asasi setiap warga negara, dan sudahkah uang pajak kita menjamin hal ini?

Mari kita bertanya pada rumput yang terus bergoyang, karena banyak pertanyaan yang tak terjawab.

1 Comments:

Blogger Doets said...

I feel your pain..ayo bertindak!! haha..

10:18 AM

 

Post a Comment

<< Home