Pelajaran Tentang Mencintai dari Edward Tulane
Di sebelah Edward, si boneka tua mendesah. Ia tampak duduk lebih tegak.Lucius datang dan mengambilnya dari rak, lalu menyerahkannya pada Natalie. Dan ketika mereka pergi, ketika ayah si gadis membukakan pintu untuk anak perempuannya dan si boneka tua, seberkas cahaya matahari pagi yang terang membanjir masuk, dan Edward mendengar cukup jelas, seolah boneka itu masih duduk di sampingnya, suara si boneka tua.
"Buka hatimu," katanya lembut
"Akan ada yang datang. Akan ada yang datang menjemputmu. Tapi kau harus membuka hatimu dulu"
Pintu menutup. Sinar matahari lenyap.
Akan ada yang datang.
Hati Edward berdesir lagi. Ia memikirkan, untuk pertama kali setelah sangat lama, rumah di Egypt Street dan Abilene yang memutar jamnya lalu membungkuk di depannya dan meletakkannya di kaki kiri Edward, sambil berkata, "Aku akan pulang padamu".
Tidak, tidak, ia berkata pada dirinya sendiri. Jangan percaya.
Jangan biarkan dirimu mempercayainya.
Tapi sudah terlambat.
Akan ada yang datang menjemputmu.
Hati kelinci porselen itu pun terbuka lagi.
(The Miraculous Journey of Edward Tulane by Kate DiCamillo)
Edward Tulane.
Dia bukanlah sesosok pria tegap dengan mata tajam. Dia bahkan tidak menggerakkan tangan dan kakinya. Telinganya panjang dan berbulu, namun kulitnya sehalus porselen, karena memang tubuhnya terbuat dari porselen putih.
Edward Tulane adalah boneka kelinci porselen (walau menurutnya kata "boneka" sangatlah merendahkan harkat karena artinya ia hanyalah sebuah "benda" bukan "mahluk") yang telah belajar tentang apa arti mencintai, kehilangan dan belajar untuk mencintai lagi.
Dia telah jatuh ke dasar lautan,tumpukan sampah, gurun tandus dan ladang yang sepi.Waktu telah mengombang-ambingkan tubuh dan hatinya yang rapuh untuk belajar mencinta, dengan "kurikulum" yang sangat berat dan memilukan.
Ia terhempas ke berbagai tempat, diluar kehendaknya, dan karena tangan dan kaki porselennya tidak bisa bergerak sesuka hati (padahal Edward ingin sekali punya sayap supaya bisa terbang), maka ia hanya bisa menunggu sampai takdir membawanya dari satu pemilik ke pemilik lain. Yang masing-masing meninggalkan kesan di hati porselennya.
Dengan hati yang telah jatuh-bangun-jatuh-bangkit berkali-kali dan dengan tubuh porselennya yang "statis" Edward mencari jalannya pulang, dan kekuatan untuk mencintai lagi.
Aku bukan Edward Tulane.
Kaki dan tanganku leluasa bergerak menurut apa yang aku mau.
Aku memang terhempas, tapi setidaknya tidak terjebak di dasar samudera, menunggu badai mengangkatku ke permukaan seperti yang Edward alami.
Aku bisa menangis, teriak, tersenyum dan mengatakan apa pun yang aku rasa, sama sekali bukan seperti Edward yang bahkan tidak bisa menitikkan air mata atau mengucapkan perpisahan.
Aku bukan Edward Tulane, tapi aku berharap bisa sekuat kelinci itu.
Mungkin sejarah akan berulang.
Hati ini akan kembali terhempas-dibuang-dipungut-disayang-terhempas-dan kembali disayang.
Sebuah olah-raga yang diciptakan oleh kehidupan untuk membuatku kuat.
Namun, aku tau waktu akan membawaku pulang.
Ke tempat yang paling pantas, di mana hatiku menyebutnya "rumah"
Labels: love, read worthy
4 Comments:
Mens sana in corpore sano.
9:34 PM
mbak nia emang bukan edward, soalnya mbak nia manusia, perempuan lagi...:)
2:52 AM
Pip : iya, biar jiwanya sehat, memang musti banyak olah raga yaa :p
mas triadi: hihi...aku memang manusia yang ingin jadi sekuat Edward
9:02 PM
Wow.. Sy jg penggemar berat si Edward :)
Boleh kan sy reblog ini di tumblr ^^
http://kimchimochi.tumblr.com
7:50 AM
Post a Comment
<< Home