Yes, I laugh a lot, cried a lot, love a lot, hate a lot, bitch a lot, complained a lot, joke a lot, yet only write a small portion of it. Oh well.

Wednesday, August 15, 2007

Aku, kamu, dan kita melihat Indonesia

Adikku yang paling bungsu suka sekali dengan hal-hal yang berbau Jepang.
J-pop, Anime, Manga, hiragana, katakana, kanji, fasih sekali dia mengucapkan hal hal itu. Mungkin dia lebih hafal nama festival musim panas di Jepang, daripada upacara grebegan di Jogjakarta.

Lain lagi dengan seorang kawanku yang tergila-gila dengan musik-musik pop-rock dari Inggris atau Britania Raya, kalau menurut istilah dia sih "Britpop". Saking fanatiknya dia dengan label "Brit" dia bahkan memasang bendera union jack di primary foto Friendster. Entahlah mungkin bendera merah-putih kurang "nge-pop".

Ada pula sekelompok penggila bola yang merasa Liverpool adalah kewarganegaraan mereka yang kedua setelah Indonesia, dan "You'll never walk alone" adalah lagu kebangsaan alternatif dari "Indonesia Raya".

Gegar budaya? atau kehilangan orientas nasionalisme? Ahh jangan tanya aku, jawabannya nanti terlalu bias dari seorang Kurnia Setyarini yang penggila sushi dan sepatu Vincci ini.

Yang pasti besok negara kita akan merayakan ulang tahunnya yang ke 62, dan mungkin banyak dari kita yang merayakan momen ini sebagai "long weekend" ketimbang hari kemerdekaan (termasuk saya...hihihi). Ahh... sebegitu dangkalnya kah pemahaman kita tentang 17 Agustus?

Mungkin ya, tapi ternyata tidak juga.
Baru-baru ini KOMPAS (yang komunikasi-nya ditangani oleh kantorku, EURO RSCG Adwork!) mengajak pembacanya untuk menyuarakan apa itu "nasionalisme" menurut mereka.
Beberapa bisa kita lihat di: http://www.nasionalismeku.blogspot.com/ dan yang terpilih bisa dilihat di KOMPAS hari ini.
Ternyata banyak yang mencintai Indonesia, dengan cara mereka yang berbeda-beda. Aku juga mencintai Indonesia, dengan caraku sendiri.
Jika aku ditanya, apa nasionalisme menurut seorang Nia? Mungkin ini beberapa jawaban jujurnya:

1. Kalau naik KRL Jabotabek selalu membeli tiket. (hey... banyak loh yang engga beli tiket..padahal kasian PJKA, udah sering dicaci-maki orang, tapi banyak juga disusupi penumpang gelap yang gak mau beli tiket seribu perak)

2. Beli Jco daripada Krispy Kreme

3. Pilih Bakoel Koffi ketimbang Starbucks

4. Film luar beli bajakan? boleh...Bajakan film dalam negeri? Jangan.

5. Lebih baik lokal daripada palsuan. Mending beli tas 347 asli Bandung daripada palsuannya Louis Vuitton.

6. Waktu aku ke Singapore dulu, aku ngga kalap belanja, mending duitnya buat belanja di Pasar Baru...hehehe.

7. Seenak-enaknya Burger King, buat gue masih enakan Lumpia Semarang..slllrp!


Yah begitulah nasionalisme di mataku.
Pahit-manis, cerah-hujan, banjir atau kemarau....Indonesia tetap rumahku.

Selamat Ulang Tahun yang ke-62 Indonesia.
Semoga anak-cucuku nanti tetap merasa sebangga ini akan dirimu.

Thursday, August 09, 2007

APATIS

the less you care,
the less problems you'll have






period.
OST:
"Glad to be unhappy" by The Mamas and The Papas
on iTunes

Sunday, August 05, 2007

I Heart Mom's Old Records


Jika dirunut lagi ke masa kecilku, mungkin aku anak dengan selera musik paling aneh untuk ukuran anak sebayaku. Di saat anak-anak lain tergila-gila dengan Trio Kwek-Kwek, Bondan Prakoso dan Melissa, aku malah asyik memutar koleksi piringan hitam warisan milik Mama dan kaset butut The Best of ABBA milik Mama juga.


Aku masih ingat, waktu itu aku masih kira-kira kelas 3 SD, memakai gaun Mama yang kebesaran dan menari-nari di kamar sambil diiringi lagu Delilah-nya Tom Jones dari piringan hitam 5 inci. Atau asyik mendengarkan "Sinking Ships" dari Bee Gees, "Bye-Bye-Love" dan "Wake Up Little Susie" dari Everly Brothers.


Saat di tahun 2007 ini anak-anak kecil tergila-gila dengan lagu "Mamammia" dari ABBA (thanks to that AFI-copy-cat- TV Show), aku sudah terlanjur akrab dengan lagu itu kira-kira delapan belas tahun yang lalu. Bahkan aku sudah hafal lagu-lagu ABBA seperti "Chiquitita", "Fernando", "Dancing Queen" atau "Money,money,money".


Bagaimana seorang anak umur 9 tahun di awal tahun 90'an bisa akrab dengan Andy Williams, Pat Boone atau Tom Jones? Mungkin karena waktu itu (bahkan sampai sekarang) aku merasakan ada sesuatu yang berbeda saat mendengar jarum pemutar piringan hitam menggesek permukaan vinyl, atau dengan beat-beat pop yang catchy lagu-lagu ABBA yang terdengar sedikit "mendem" waktu itu, or simply because of no reason at all but being in love with "oldies" records.


Dan sayangnya, sejak pemutar piringan hitamnya rusak dan disimpan di gudang dan aku jadi sibuk dengan radio tape yang baru, yang lebih stereo dengan sub woofer, pemutar kaset baru, pemutar CD dan baru-baru ini : Ipod dan Itunes... semua rekaman tua itu jadi berhibernasi di sudut berdebu gudang rumahku.


Hingga seseorang datang ke rumah dan bantu-bantu membersihkan semua rekaman tua itu (makasih Acum dan Ichsan...hehe), bahkan Acum membantu membawa pemutar yang rusak itu ke tukang reparasi di Jl. Surabaya (yang hingga postingan ini muncul, belum selesai2 juga reparasinya...huh!). Aku jadi bersemangat lagi untuk menikmati lagu-lagu dari beberapa dekade silam itu kembali.


Kalau nanti pemutar piringan ku sudah bisa dipakai lagi, pasti Ipod ku akan kuistirahatkan sementara dan mengganti dunia digital dengan gesekan halus jarum dan permukaan vinyl yang melantunkan lagu-lagu Tety Kadi, Titik Sandhora dan Pat Boone.



So, a little bit of de-digitalization anyone?