Yes, I laugh a lot, cried a lot, love a lot, hate a lot, bitch a lot, complained a lot, joke a lot, yet only write a small portion of it. Oh well.

Tuesday, March 28, 2006

Memenangkan Kontes Bernama Kehidupan



Beberapa hari terakhir ini, gue menonton 2 film tentang kekuatan wanita. Berbagi Suami dan The Prize Winner of Defiance Ohio.

Berbagi suami, adalah film yang membuat gue tertawa dan berpikir sekaligus. Bagaimanapun juga poligami adalah hal sensitif untuk wanita, dan Nia Dinata berhasil menyajikan topik sensitif ini dengan manis dan tidak menggurui. Kisah tentang wanita-wanita yang hidup dengan poligami, untuk berbagai alasan dari sang pria. Sebuah keputusan yang menurut gue tidak adil bagi wanita, tapi yah..that's a different story.


Tapi betapapun berkesan dan menarik film Berbagi Suami ini untuk dinikmati, justru film yang kedua-lah yang membuat gue berfikir, terharu, terhibur dan merasa bersyukur.

The Prize Winner of Defiance Ohio. Kisah nyata tentang Evelyn Ryan, seorang ibu rumah tangga di tahun 60-an yang menghidupi keluarganya (seorang suami alkoholik dan 10 orang anak) dengan mengikuti berbagai kontes menulis jingle iklan, sebuah kontes promo produk yang memang ngetren sekali saat itu (hehe..coba jaman skarang banyak kontes kaya gitu, pasti gue jadi pengangguran). Kisah nyata ini based on the novel karya Terry "Tuff" Ryan, anak ke 6 dari keluarga Ryan.

Dikisahkan, keluarga Ryan adalah keluarga besar dengan Mr. Ryan yang bekerja sebagai buruh pabrik yang penghasilan pas-pasannya justru dipakai buat mabuk-mabukan. Tak jarang, mereka harus berlapar-lapar, bahkan hampir diusir dari rumah karena kondisi keuangan keluarga itu. Tapi Mrs. Ryan memang jenius, saat keluarganya hendak diusir karena ngga bisa bayar sewa, dia memenangkan $5000, sepeda, mesin cuci dan freezer box. Dengan uang itu, keluarga Ryan akhirnya bisa beli rumah baru.

Saat keluarga itu bingung, mau diapain ya freezer box itu? Eeh, Bu Ryan malah memenangkan lomba menulis untuk Big Chief Supermarket dengan hadiah supermarket shopping spree!!! Yang bisa memenuhi freezer box dan lemari-lemari dapur, membuat mereka tak lagi lapar untuk berbulan-bulan.

Ini nih lirik jingle yang bikin dia menang!:
Wide selections, priced to please her;
Scads of Seabrook's in their freezer,
Warmth that scorns the impersonal trend,
Stamps "Big Chief" as the housewife's friend.
Satu lagi lirik yang lucu untuk kontes jingle iklan sandwich. Kontes itu mengharuskan pesertanya untuk menulis lirik yang nadanya sudah diciptakan. Jadi seperti ini: dam didam didam..dam didamdidam..sandwich!
Nah,untuk mengisi "damdidam" tersebut, Evelyn Ryan menulis seperti ini:
freeze the fraugidiare
clean the cupboard bare
sandwich!
Kemenangan Evelyn Ryan ngga semata bersandar pada "luck". Karena untuk memenangkan hadiah, ia harus menggunakan intelektualitasnya, kepandaiannya dalam meracik kata (in 25 words or less), sebuah skill yang jarang untuk wanita jaman itu. Di tahun-tahun saat wanita dipandang sebelah mata, tugasnya cuma di dapur , sumur dan kasur, padahal seharusnya Mrs. Ryan bisa jadi wartawan, menulis kolom, menulis buku, atau bahkan copywriter (heheh).
Sebagai sesama peracik kata-kata, gue terharu. Selama ini kerjaan gue buat nulis naskah iklan gue anggap sebagai sebuah kerjaan yang bisa ngasi gaji, duitnya bisa buat ke salon, ke spa, beli baju baru, makan sushi, etc. Tapi buat Evelyn Ryan, sebuah bait naskah iklan bisa menyelamatkan keluarganya dari kelaparan atau jadi tunawisma.
Yang menyentuh di sini adalah, Evelyn telah memenangkan berbagai hadiah mahal..seperti mobil sports, jam tangan mahal, bahkan liburan ke Eropa. Tapi dia berkorban dan memilih untuk menggadaikan hadiahnya untuk menghidupi keluarganya. Padahal si suami, yang tak lebih dari seorang bayi manja (dan pemabuk!), merasa tersaingi (biasalah chauvinisme laki-laki), dan merasa tak bisa membahagiakan keluarganya dengan tangannya sendiri, jadinya tiap kali Evelyn memenangka sesuatu, dia jadi marah, bahkan membuang atau merusak hadiah yang sudah dimenangkan. Huh! dasar lelaki! (hehhehehe..feminis banget ya gue?)
Dengan caranya yang unik, Evelyn sudah mengajarkan gue, bahwa kita semua berusaha untuk memberi yang terbaik, apalagi utuk keluarga. Ini adalah bahasa universal yang dimengerti semua Ibu, hanya implementasinya saja yang berbeda. Untuk Evelyn, caranya adalah dengan mengikuti lomba jingle iklan, untuk wanita lain dengan berdagang parfum atau gorengan, atau menjadi supir busway. Satu hal yang pasti, dengan cara kita masing-masing, kita semua berusaha menaklukan sebuah kontes maha besar, bernama kehidupan.
Dan untuk penutup tulisan ini, gue mau mengutip satu bait (isinya persis 25 kata!), sebuah tulisan terakhir Evelyn Ryan yang menginspirasikan putrinya sehingga jadilah film ini, dan menginspirasikan gue juga untuk selalu bersandar sama Maha Boss di Surga di saat apapun juga:
Every time I pass the church
I stop and make a visit
So when I'm carried in feet first
God won't say, "Who is it?"

Sunday, March 12, 2006

Siapa yang porno? Siapa yang (pasang) aksi?

Seperti perempuan lainnya, saya juga tidak suka melihat tubuh perempuan dieksploitasi dalam majalah bugil atau tabloid esek-esek. Atau imej keseksian perempuan yang disajikan secara vulgar dan murahan dalam sinetron komedi di berbagai TV swasta.

Tapi jika untuk menentang pornografi dan mencabut hingga ke akar-akarnya, mungkin saya akan bilang: tidak! Mengapa? karena pornografi adalah hal yang akan selalu ada, itu adalah human interest yang manusiawi. Ayo, jujur deh...siapa sih yang tidak menganggap pornografi sebagai kebutuhan. Siapa sih yang ngga "butuh" buat ngelihat stensilan atau foto-foto porno?. Dilarang atau tidak, mereka akan selalu ada.

Mungkin yang saya inginkan dalam hal ini adalah pengaturannya. Bagaimana agar tontonan dewasa itu yah ditujukan buat orang dewasa saja. Artinya, jangan sampai mereka yang belum cukup umur melihatnya.

Setujukah kamu, jika saya bilang pengaturan lebih penting daripada larangan. Pelacur dimana-mana akan selalu ada, prostitusi kan profesi paling tua di jagat raya ini. Daripada mereka ditangkap, diberi wejangan trus dilepas (malah kadang mereka jadi sasaran pelecehan seksual aparat), bukankah lebih baik kalau mereka dikumpulkan di suatu tempat (lokalisasi) ?. Tentu lebih aman, tertib dan terkendali ketimbang dibiarkan liar kan? mereka bisa diperiksa oleh tim kesehatan secara berkala agar bebas dari penyakit menular seksual (AIDS, Hepatitis, dsb). Kalo sekarang kan engga. Lokalisasi dirubuhin, tapi pelacur dan germonya tetep kelayapan di pinggir jalan. Boro-boro menghapus pelacuran, yang ada malah nyebarin penyakit kelamin yang susah terdeteksi.

Ahh sungguh munafik!

Begitu pula yang terjadi belakangan ini dengan adanya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi:
http://www.lbh-apik.or.id/ruu-pornografi.htm

Sebuah undang-undang yang dipaksakan dan tidak perlu, karena sebenarnya Indonesia sudah memiliki KUHAP dan UU yang melindungi hak anak dan perempuan, hanya saja penegakannya yang masih jauh dari maksimal.
Yah, apanya yang maksimal, kalo pemerkosa dihukum 7 tahun penjara sedangkan maling ayam diganjar 3 tahun penjara. Apakah harga kehormatan serta trauma psikis yang dialami wanita setara dengan 2 ekor ayam?Ayolah, yang bener aja. Hukum masih acak-adul gini masih mau ditambahin aturan ngga jelas pula.

Batasan-batasan yang hablur tentang seksualitas dan aurat wanita, seharusnya biar menjadi wilayah norma dan bukan di wilayah hukum negara yang absolut. Makna dan batasan aurat sendiri kan berbeda-beda bagi setiap kalangan, bagaimana bisa diangkat dalam hukum negara.

Lalu, ada pula saudara-saudara kita di Bali yang wanitanya memakai kemben dan pria Irian Jaya yang masih memakai koteka? dengan relief-relief di candi Hindu yang menggambarkan wanita telanjang dada?

Kata mereka yang pro RUU APP: Lho, kan di RUU APP ada pengecualian untuk kegiatan yang menyangkut tradisi, seni atau olahraga. Trus, kalo buat di Bali atau Irja, ya mereka dibikinin undang-undang khusus aja.

Heh, semudah itu ya bikin undang-undang. Kalo ternyata peraturannya melanggar wilayah nilai orang lain, ya dibikin pengecualiannya aja. Kok UU negara Republik Indonesia bisa dengan gampangnya di beri pengecualian. Sejak kapan ya, hukum bisa di bengkok-bengkok-in kaya gitu (eh iya, saya lupa, ini kan Indonesia).

Tapi begini, masalahnya bukan tentang budaya Bali, Irian, atau Kalimantan. Ini masalah pengkriminalisasian tubuh perempuan. Seolah-olah seluruh sumber kejahatan seksual penyebabnya adalah tubuh perempuan.
Sepertinya, tubuh wanita sebuah ancaman besar terhadap kesucian moral, sampai-sampai negara perlu menyisihkan anggarannya yang minim di saat rakyat kelaparan untuk membuat undang-undang yang mengatur betis dan belahan dada perempuan. Bukannya bikin anggaran untuk pendidikan seks kepada generasi muda, agar mereka bisa memilah secara bijaksana setiap informasi yang mereka dapat.

Ngga mau tenggelam, tapi ogah belajar renang, malah kolam renangnya disegel dan ditutup. Ngga mau ada pemerkosaan, jadi perempuannya yang ditangkepin. Lelaki bejat dan hidung belangnya? hmm..mungkin dia-dia juga tuh yang bikin Undang-Undang...(hehe..emosi nih gue)

Ingin menyuarakan penolakan tentang RUU ini?
Tenang...ngga perlu demo dan teriak-teriak di bundaran HI kok, cukup klik dan isi petisi ini : http://www.petitiononline.com/ruuapp/petition.html


Saya sudah mengisi dan menggunakan nama dan email asli. Saya sarankan kamu juga begitu.

Labels: ,