Friday, October 01, 2010
Monday, June 14, 2010
Tujuan Lo Apa?
Yang jadi pengikut setia Ligwina Hananto pasti sudah sangat hafal dengan jargon di atas. Sebuah mantra sakti yang menurut sang Financial Planner itu patut ditanyakan pada diri sendiri dalam setiap keputusan, terutama dalam bidang keuangan.
Pertanyaan itu juga sering gue tanyakan - seringnya sih sambil ngaca - dan kadang gue nemuin jawabannya, seringkali juga ngga nemu-nemu.
Waktu nikah sama Acum, tujuan gue cuma satu: hidup bahagia sampe kakek-nenek. Mau ada anak, atau nggak ada anak, ngga terlalu jadi masalah. Yang penting jangan sampe gak ada "dana" hehe - Satu prinsip yang gue coba untuk pegang teguh adalah "Muda ngga nyusahin orang tua, begitu tua jangan sampe nyusahin yang muda" -
Dulu waktu masih single, dengan income yang lumayan untuk cewek seusia gue, gak pernah kepikiran buat masa depan. Tujuan gue? Ya buat senang-senang. Mau ada sale Zara ada duitnya, mau makan sushi ada duitnya.
Nah, beberapa bulan lalu gue dan Acum berhasil membeli rumah dengan cara kredit.
Yay! Seneng banget rasanya. Walaupun setengah mati ngumpulin uangnya dan jungkir balik ngurus kreditnya. But finally, we have a home to call our own. Seneng, karena itu duit akhirnya ada wujudnya!
Rumahnya kecil dan sederhana. Tapi cukuplah untuk keluarga muda.
Jadi kalo sekarang gue ditanya, tujuan lo apa Ni?
Ngisi-ngisi rumah!
:))
Kalo kaya gini sale Ace Hardware bisa ngalahin pesona sale Zara deh!
*Btw, rumahnya masih direnov dan kami belom pindah ke sana. Jadi foto-fotonya nanti ya menyusul*
Labels: the nugrohos
Friday, April 30, 2010
Tentang menjadi manusia yang beragama
Wah hari ini hari terakhir di bulan April dan sejak liburan lalu berarti saya belum nge-posting satu tulisann pun di blog ini. Wew, maafkan saya *nunduk-nunduk ala Takeshi Castle*
Banyak sih yang terjadi dalam satu bulan ini, bagi The Nugroho's, bulan ini kami berhasil akad kredit dengan sebuah bank dan resmi menyicil untuk rumah idaman kami di Depok. Cerita lengkapnya sih pengennya nanti kalo udah pindahan rumah *tsk, bilang aja males lo ni heheh*
Tapi alasan utama untuk kembali corat-coret di blog ini karena saya tergelitik untuk menulis sebuah topik yang menurut banyak orang adalah topik yang sensitif, yaitu soal fanatisme beragama.
Kemarin ada berita sekelompok massa membakar sebuah bangunan asrama di daerah Puncak dan hari ini sekumpulan massa FPI kabarnya membubarkan paksa sebuah acara kontes waria di Depok. Miris sekali aksi-aksi brutal seperti ini masih terjadi di Indonesia, apalagi di Ibukota Jakarta. Oyah, beberapa minggu lalu pun ada kerusuhan berdarah terjadi Koja karena masalah makam seorang tokoh agama. Wih ngeri banget!
Saya bukan orang yang religius.
Tapi saya mengerti bahwa agama apa pun tidak akan mentolerir aksi kekerasan, atas nama atau alasan apa pun.
Bukankah A-gama itu artinya tidak-kacau? Mengapa justru banyak kericuhan atas nama Agama? Mengapa perbedaan jadi alasan untuk bertikai?
Bukankah di mata Tuhan, darah kita sama merah dan dosa kita pun sama hitam?
Mengapa jari kita saling menuding dan tangan kita saling mengepal?
Setahu aku, kepalan tangan kita akan lebih berharga di mata Tuhan, jika kita menggunakannya untuk berdoa, bukan memukul.
Saya kurang suka dengan gaya hidup waria, tapi waria juga punya hak di negara ini untuk berkumpul dan berorganisasi. Masalah waria itu berdosa atau tidak, biarlah Tuhan yang menghakiminya, bukan kita. Situ pikir situ lebih suci dari Tuhan?
Saya juga kurang setuju kalau ada organisasi yang mengiming2 untuk pindah ke keyakinan mereka dengan imbalan uang. Tapi kalau memukul rata semua penganut agama yang sama dengan organisasi itu semua melakukan hal itu, lalu merusak rumah ibadah mereka, ya itu tolol namanya.
Kalau takut sama Anu-isasi dari agama tertentu, ya pertebal keimanan diri sendiri, bentengi diri sendiri dengan pemahaman agama yang kokoh, biar tidak gampang goyah oleh ajaran agama lain. Bukan rumah ibadahnya yang dibakar. Itu tindakan yang luar biasa brainless and not to mention melanggar UUD 45 pasal 29.
Keluarga saya adalah keluarga yang sangat Bhineka Tunggal Ika, begitu pula dengan keluarga Acum. Ada yang Kristen ada yang Islam, ada yang Mualaf, ada pula yang pindah agama dari Islam ke Kristen. All is well, karena keyakinan adalah hak pribadi.
Di ruma Acum, setiap Natala, Pakde2 dan Bude2 yang muslim tak pernah absen untuk datang ke rumah. Mengucapkan selamat Natal dan sekedar bercengkerama melepas rindu. Btw, pakde dan bude kami itu rata-rata Haji dan Hajjah loh.
Indah sekali.
Semua huru-hara soal kekerasan atas nama agama ini membuat saya bertanya2.
Apakah kita mementingkan Agama daripada Tuhan?
Pertanyaannya kira-kira begini,
Jika suatu saat kita sedang ada terombang-ambing di dalam perahu di tengah lautan. Untuk mencapai daratan terdekat, perahu itu hanya sanggup menahan beban 150 kg.
Di dalam perahu itu isinya:
- A yang beragama X, beratnya 60 kg
- si B yang beragama Y (agama X dan agama Y seringkali bertikai dan salah paham), beratnya 60 kg
dan 1 peti berisi Kitab Suci dari agama A, beratnya juga 60 kg.
Jika mereka terus kekeuh melanjutkan perjalanan, berat 180 kg itu pasti akan membuat mereka tenggelam. Satu-satunya jalan adalah membuat kelebihan muatan.
Mana jalan yang akan dipilih?
Melemparkan salah satu manusia demi menyelamatkan sepeti kitab suci
atau melemparkan kitab suci, demi menyelamatkan manusia?
Kalau saya, lebih baik saya mengorbankan sepeti buku-buku Injil dan membuangnya ke tengah laut, daripada saya harus "membunuh" sesama manusia walau ia berbeda Agama. Buku Injil hanyalah kertas, yang terpenting adalah apakah kita mampu menjalani firman yang ada di dalamnya. Firman itu yang akan terus hidup dalam diri kita.
Karena bagi Tuhan, nyawa manusia lebih berharga dibanding setumpuk kertas walau berisi ayat-ayat suci, atau makam orang paling suci sekalipun.
Jika Tuhan berkehendak untuk benda-benda tadi terpelihara, yakinlah bahwa Tuhan itu Maha Memelihara. Tuhan itu Maha Kuasa, jadi tak usah lah memukul orang lain demi membela Dia
Itu aja sih uneg-uneg yang mau saya sampaikan
Punya pendapat lain? Feel free to say it
Labels: read worthy
Thursday, March 25, 2010
Bali Lombok Trip 2010, part 4: Farewell Senggigi, Hello Perama Boat Adventure
Setelah puas berenang, mandi dan beristirahat. Aku dan Acum siap-siap buat makan malam di restaurant sekitar hotel. Setelah berjalan kaki menyusuri pub dan kafe, akhirnya pilihan jatuh ke restaurant paling ramai di Senggigi, namanya Happy Café.
Tempat ini selalu penuh karena ada iringan live music yang lumayan asik. Bawain lagu-lagu lama dari artis-artis jadul, dari Bob Dylan sampe Sting.
Acum sempet request lagu Guantanamera, yang bikin musisinya pada keder karena udah lama nggak bawain lagu ini. But they did a pretty good job, we are pretty entertained. Fish steaknya not bad and the ambiance is pretty hip. Walau untuk berlama-lama kayanya nggak mungkin karena ada banyak calon tamu yang mengantri. Rupanya tempat ini happening banget.
Sehabis makan, kami pulang untuk packing dan beristirahat. It’s a long day tomorrow.
Bangun pagi dan sarapan di hotel, kami menunggu jemputan dari Perama Boat.
Di hotel Puri Bunga ini sarapannya selalu makanan Indonesia sederhana, buat bule yang nggak cocok sih bisa order khusus American breakfast, tapi ada juga sih bule yang “kreatif” mencampur nasi pakai pepaya. Euuw, entah apa itu rasanya.
Setelah jemputan datang, kami disuruh menunggu boatnya datang di pantai Senggigi. Pertama-tama kami para penumpang (90% nya bule lho) disuruh naik speed boat dulu buat naik ke atas kapal yang lebih besar. Penumpangnya gak lebih dari 30an dan masuk dalam 2 kloter speed boat.
Di Perama Boat tidak ada nomor duduk. You can seat anywhere. Mau di deretan kursi penumpang, tiduran di geladak berpasir atau leyeh-leyeh di sundeck. Bebas.
Makan pagi dan makan siang disiapkan juga, gratis. Sarapannya berupa banana pancake dengan irisan pisang dan nanas, disiram dengan maple syrup. Makan siangnya nasi putih dengan sup dan ayam goreng, buahnya irisan semangka.
Perjalanan Senggigi – Padang Bay makan waktu 3 jam. Nggak terlalu berasa karena kebetulan angin lautnya lagi tenang dan semilir-semilir bikin ngantuk. Di sini juga ada tape dan loud speaker sehingga kapten kapalnya bisa nyetel album favoritnya kencang-kencang, yaitu.....THE BEST OF ST 12. Hahaha, kalo kata Acum ini The Boat That Rocked versi Indonesia.
Tiba di Padang Bay sekitar jam 12.30. Air lautnya biruu sekali.
Pemandangannya cantik dan menyenangkan, tapi tidak dengan para pedagang dan calo taksi di sana. Annoying banget. Sampe ada bapak-bapak bule yang beli kain gitu, dirubung sama semua pembeli. Dikiranya kalo beli dari satu pedagang musti beli dari pedagang yang lain juga ”One dollar sir...one dollar...very cheap” gitu teriaknya gak berenti-berenti. Kasian itu bapak bule sampe nahan kesel. Duh sebagai orang Indonesia, aku jadi malu sendiri.
Dari Padang Bay, kami disediakan transport bis. Jangan salah naik bis, biasanya bisnya dibedain sih, mau ke Kuta atau Candidasa. Perhatiin kata supirnya ini jurusannya ke Ubud atau Kuta.
Berangkat dari Padang Bay sekitar jam 13.00 dan tiba di Kuta jam 14.30. Karena jadwal pesawatnya masih nanti malam, kita titipin tas dulu di kantor Perama di Jalan Legian dan pergi jalan-jalan dulu, makan dan beli oleh-oleh.
Malamnya jam 19.00 kita ke Bandara Ngurah Rai buat check in dan boarding ke Jakarta.
Goodbye holiday
Sampai jumpa lagi :)
Bali Lombok Trip 2010, part 3: From Gerabah to white sand beaches
Keesokan paginya, setelah sarapan di hotel. Kami jalan-jalan dulu di pantai Senggigi sembari menunggu jemputan mobil dari Lombok Travelnet. Saat lagi asik jalan-jalan menyusuri Senggigi pagi hari, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang sedang berenang memanggil akrab ke Acum “Hallo mister..mister...mister..halooo”
Kakaknya si anak itu langsung bilang “Hush dek...dia bukan turis (asing)”
Si Acum cuma nyengir dan aku menahan ketawa.Hahah, siapa suruh mukanya kaya turis Zimbabwe hihihi.
Jam 9.30, mobil jemputan kami tiba. Mobil + driver + BBM = IDR 350 ribu, untuk pemakaian 8 jam. Kita dapet ini karena googling dan nemu website: http://www.lomboktravelnet.com Kalau mau tanya-tanya, gak usah telpon, cukup YM aja petugasnya melalui link yang ada di website tersebut. Mudah dan murah. Petugasnya cukup helpfull kok dalam memilihkan hotel yang sesuai budget.
Destinasi pertama kami adalah: Desa Banyumulek.
Desa ini adalah desa khusus pengrajin gerabah. Hasil karya mereka sudah menembus pasar Eropa lho. Dari asbak yang kecil hingga guci-guci raksasa aneka model, mereka bisa membuatnya. Yang paling keren sih kendi minum khas Lombok. Kendi ini unik karena mengisi airnya dari bawah (terbalik) dan jika dibalik lagi airnya tidak tumpah.
Di Banyumulek, aku belajar bikin mangkok dari tanah liat. Tentu saja sambil dibimbing oleh mas pengrajin, kalo nggak...mangkok itu palingan jadi seonggok tanah liat yang absurd, hehe.
Setelah jadi dan dibentuk. Aku menggoreskan nama ”The Nugrohos” di belakangnya. Sekalian kenang-kenangan second hanimun di Lombok. Ciyeee romangtis bener dah.
Setelah jadi, dijemur dan siap dibawa pulang. Kami memberi si pengrajin uang serelanya. Oya, selagi menunggu gerabahnya dijemur, aku dan Acum sempet melihat-lihat koleksi gerabah dan beli 2 cangkir mungil dengan hiasan kulit telur. Cantik sekali.
Selesai bergerabah ria di Banyumulek, sang driver Mas Yusuf mengantar kami ke Desa Sukarara (baca: Sukarare). Kalau di Banyumulek itu spesialis gerabah, desa Sukarare ini desa para penenun. Semua wanita di desa ini harus bisa menenun, bahkan anak-anak gadis di sini belajar menenun sejak usia 7 tahun. Anak gadis yang belum bisa menenun dianggap belum siap berumah tangga, makanya belum boleh menikah kalau belum bisa menenun.
Di sini aku diajarin bedanya tenun ikat dan tenun songket. Tenun songket itu lebih rumit dan motifnya hanya timbul di satu sisi kain, sementara tenun ikat, motifnya timbul bolak balik. Rata-rata 1 lembar kain dibuat dalam waktu 1 bulan (dengan waktu kerja 9 jam setiap hari, tanpa libur), satu kain itu dihargai IDR 300 ribu hingga IDR 400 ribu. Bayangkan kerja sampe sakit pinggang setiap hari hanya dapat IDR 300 ribu! So before you complain about your job, think about the women in Sukarare, guys.
Di desa ini, aku beliin Acum scarf kecil dari tenun ikat seharga IDR 45 ribu. Dia suka banget. Terlalu suka malah. Kemana-mana dipake, mau ujan mau kena air laut, gak dilepas-lepas. Hehehe.
Dari Desa Sukarare, kita lanjut lagi ke Dusun Sade, dusun asli suku Sasak.
Di dusun Sade, masyarakatnya masih hidup di rumah-rumah tradisional Sasak, lantainya dari tanah liat yang dibersihkan dengan....KOTORAN KERBAU!
Yep, ternyata kotoran kerbau bisa membuat lantai tanah liat jadi lebih kuat dan solid. Anehnya walau terdengar menjijikkan, tidak ada bau kotoran kerbau sama sekali di rumah itu. Lantainya justru adem dan mulus sekali.
Oyah, di dusun Sade ini, ada tradisi culik menculik anak gadis. Jadi jika ingin menikahi seorang gadis, gadis itu harus diculik dulu. Jadi umumnya satu gadis bisa punya beberapa calon suami. Nah, calon suami mana yang akan menikahinya, tergantung siapa cowok yang duluan menculik. Wow.
Setelah menikah, mereka akan tinggal sementara di "gubuk bulan madu". Jangan bayangin gubuknya kaya cottage di pinggir pantai yah. Gubuk bulan madu ini kecil dan atapnya rendah sekali, dan dindingnya anyaman bambu yang memungkinkan banget buat "diintipin" hihi. Sempet mikir juga sih, tempat sekecil gitu apa bisa "bemanuver" leluasa, hahaha. Tapi ya namanya juga cinta ya, mau tinggal di mana aja,serasa tinggal di istana :)).
Di dusun ini, aku beli kain sarung songket seharga IDR 110 ribu, termasuk murah mengingat (katanya) benangnya dibuat sendiri dan tenunan songketnya cantik, walaupun nggak full tenunannya.
Abis tour keliling desa, kami memberi uang sekedarnya ke guide dusun Sade dan memasukkan uang ke kotak sumbangan yang disediakan. Walau ini desa wisata, tapi kondisinya cukup tertinggal lho, orang-orang yang usianya lebih dari 30 tahun bahkan tak bisa berbahasa Indonesia, karena kurangnya pendidikan. Agak miris juga sih.
Sehabis dari Dusun Sade. Kita menuju lokasi yang teramat sangat ditunggu-tunggu. Pantai Kuta dan Tanjung Aan, di sebelah selatan Lombok. Lokasinya hanya sekitar 7 km dari Dusun Sade.
Kami makan siang di Tastura resort and restaurant di pantai Kuta, Lombok. Jangan bayangkan pantai Kuta ini sama dengan Kuta, Bali. Bedaaa banget. Kuta Lombok lebih biru dan pasirnya jauh lebih putih. Tapi sayangnya di sini masih belum banyak restaurant yang memadai.
Tastura restaurant ini yang lumayan terkenal aja, makanannya ”biasa” banget rasanya dan sayangnya banyak lalat di sini. Lalat memang jadi masalah utama setiap restaurant atau penginapan di pantai Kuta, Lombok.
Habis makan, kita melipir dikit ke pantai Tanjung Aan. Pantai di sini luar biasa indah, sayang kurang terawat dan agak kotor, karena belum ada pengawasan berarti, maka wisatawan lokal yang piknik suka buang sisa makanan atau bungkus makanan di pantai. Bahkan ada 1 -2 sampah plastik terapung di laut. Birunya air laut emang agak sedikit terganggu dengan ganggang hijau, tapi gak berbahaya kok.
Pasir di pantai Tanjung Aan ini unik sekali karena butiran pasirnya besar-besar seperti butiran merica, jadi kalau dibuat jalan susah sekali, karena kaki kita jadi lebih ”melesak” ke dalam pasir.
Sepulang dari Pantai badan kami penuh pasir, dan sarana bilas bisa dibilang tak ada. Makanya kami skip aja belanja oleh-oleh (mengingat sudah hampir habis juga waktu sewa mobilnya)...dan langsung menuju hotel. Mandi, ganti baju dan...berenang. Hehe masih belum puas main-main air.
Next story: Live music di Senggigi dan petualangan Perama Boat
Monday, March 22, 2010
Bali Lombok Trip 2010, part 2: Lovely Lombok
Senin pagi di Ubud. Satu hari menjelang Nyepi di tahun 2010 ini. Kami bangun pagi untuk siap-siap jalan-jalan ke pasar Ubud. Nggak sempat mandi, cuma cuci muka dan gosok gigi aja langsung ngabur dari hotel. Kenapa terburu-buru? Karena kami ingin puas-puasin menikmati Ubud sebelum nanti jam 10.30 kami harus naik bis Perama menuju Kuta. Syukur-syukur bisa ke Pasar Ubud buat belanja-belanja.
Mengingat kalo jalan kaki ke Pasar Ubud itu bisa lama dan bikin kaki copot, kita memutuskan untuk nyewa sepeda. Tarif sepeda di Bali sekitar IDR 15 – 20 ribu. Kita dapetnya persewaan yang lumayan mahal, karena memang agak jauh dari pusat Ubud jadi gak banyak saingan doi. Kita dikasi IDR 20 ribu, itu juga hasil nawar dari harga awal IDR 40 ribu (ih terlalu deh si pedagang itu)
Acum dan sepeda-sepeda kami:
Naik sepeda menyusuri Ubud di pagi hari adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Udaranya masih segar dan belum banyak motor berseliweran. Dalam waktu 5 menitan kita udah sampe di Pasar Ubud, parkir sepeda dan menyusuri pasar. Belum banyak toko yang buka, tapi udah ramai orang yang berbelanja keperluan Nyepi di lapak-lapak pasar. Nggak banyak yang kita beli, hanya 2 pasang sendal jepit warna-warni, lilin dan minyak aromaterapi. Agak menyesal juga sih beli minyak aromaterapi yang dikemas cantik pakai pita dan dibungkus kotak plastik, aku beli karena harganya cuma 10 ribu dan bungkusnya manis. Ternyata pas di Jakarta aku buka isinya bukan minyak tapi campuran alkohol yang beraroma “agak” wangi. What a rip off! Mending beli botolan minyak aromaterapi yang di organic market aja deh, biarpun harganya 40-50 ribuan tapi yang penting asli *orang pelit kualat nih gue hehehe*
Di seberang Pasar Ubud, terletak Puri Ubud, di sana sedang ada salah satu kegiatan menjelang arak-arakan. para prianya berkerumun dengan baju adat dan...menyabung ayam. Entah apa makna di balik kegiatan itu, tapi katanya sih, no animal is being harmed in this ritual. Jadi kalo ayamnya udah "kecapean", sabung ayamnya dihentikan.
Sabung Ayam:
Tak lama kemudian Jeffry nelpon, dia udah ada di hotel kami, begitu tau kita ada di Pasar Ubud, dia nyusul naik motor. Dari Pasar Ubud, kita konvoy sepeda (2 sepeda onthel dan 1 sepeda motor) ke supermarket di dekat pertigaan Gianyar Ubud buat beli oleh-oleh arak Bali.
Perjalanan menuju pertigaan itu cukup menanjak jadi agak ngos-ngosan, kita sempet berhenti di pinggir jalan buat…foto2 dengan background patung yang ada di bunderan jalan. Hehehe, turis norak emang, dikit-dikit berhenti buat foto-foto
Pas perjalanan pulang menuju hotel, kita ngeliat lagi ada Ogoh-ogoh yang siap diarak di sebuah pura di Jl, Hanoman. Ada 2 ogoh-ogoh di sini, yang satu “monster” cowo berwarna merah dan satu lagi “monster cewek topless berwarna kuning, Hihi, boobs-nya si monster kuning lumayan perfect lho, kalo manusia kira2 ukurannya 34B lah hahaha.
Ogoh-ogoh Merah:
Ogoh-ogoh Kuning:
Setelah mandi dan packing dan menikmati American breakfast di hotel, kita standby di Perama Bus Station buat naik bis ke Kuta, di mana sore nanti kira naik Merpati ke Bandara Selaparang, Lombok.
Perama adalah layanan transportasi yang ada di Bali dan Lombok. Buat kamu mau one way trip ke Kuta dari Ubud atau sebaliknya, enak sekali lho naik bis ini. Harganya hanya IDR 50 k per orang, meski bisnya gak ber-AC tapi cukup nyaman, dan tentu saja murah. Bis ini juga melayani trayek ke tempat lain seperti Padang Bai, Sanur, atau Lovina. Lebih jelasnya cek aja: http://www.peramatour.com
After saying a sad goodbye to Jeff, kita pun naik bis menuju Kuta. Di sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan hijaunya sawah, beraneka galeri lukisan dan tentu saja puluhan Ogoh-Ogoh aneka ragam yang siap diarak. Perjalanan 1 jam pun terasa singkat dan menyenangkan.
Di Kuta, kita masih punya waktu beberapa jam sebelum check in di Bandara Ngurah Rai, jadi kami berhenti di depan Pasar Kuta dan siap untuk belanja dan makan siang. Pilihan yang agak rempong sih karena kami harus bawa ransel besar dan koper dorong di tengah hari yang terik luar biasa. Dan shoot, pasar Kuta banyak yang tutup.
Setelah berjalan beberapa meter, kami sempat belanja celana renang buat Acum dan sun dress buat aku di perempatan Jalan Pantai Kuta. Dari situ kita sih maunya makan di warung Made, tapi ternyata menjelang Nyepi, warung-warung makan banyak yang tutup, yang buka hanya restoran buat bule yang harganya selangit dan KFC. Oke, tentu saja kami pilih KFC, hehe another Colonel Yakiniku please!
Oya, untungnya aku udah ambil uang cash yang cukup waktu di Ubud tadi pagi, karena ternyata di siang hari, semua ATM di pulau Bali itu dimatikan karena menjelang Nyepi. Jadi Acum yang tadinya mau transfer uang untuk sebuah urusan, harus menunda keperluannya hingga kami tiba di Lombok.
Selesai makan, kami menuju ke Ngurah Rai untuk siap-siap terbang ke Selaparang. Selagi kami menunggu di ruang tunggu bandara, tiba-tiba aku dapet telfon dari Merpati. Penerbangan kami dari Selaparang ke Bali untuk esok lusa, di-delay yang tadinya jam 15.00 didelay hingga jam 9 malam. Oh noo!! Malam sekali padahal lusa malam kami harus segera terbang kembali ke Jakarta! Akhirnya pihak Merpati menawarkan full refund, sehingga uang refundnya bisa kami pakai untuk transportasi lainnya. Refundnya full Rp 472 000 untuk penerbangan Selaparang-Ngurah Rai.
Setiba di Selaparang, aku langsung mengurus full refundnya. Prosesnya cepat dan tidak berbelit-belit, dalam hal ini Merpati sangat helpful dan kooperatif. Saat aku cek penerbangan dari Selaparang ke Bali buat tanggal 17, semua fully booked dan bahkan ada beberapa penerbangan yang tidak available.
Untung aku dulu sempet browsing-browsing soal transportasi via laut dan aku ingat yang paling murah dan nyaman memang Perama Boat. Dibanding ferry, Perama Boat lebih cepat, walau harganya lebih mahal dari ferry.
Dari Selaparang kami beli voucher taxi ke Senggigi, seharga Rp 57 000. Harga ini sudah fix dan dijamin aman karena taxinya adalah taxi resmi bandara. Tarif ini juga lebih murah daripada airport transfer dari hotel yang bisa sampe Rp 75 000.
Sebelum sampai di hotel kami mampir dulu ke kantor Perama di Senggigi dan pesan tiket Perama Boat buat esok lusa. Harga normalnya itu Rp 350 ribu per trip per orang, tapi kebetulan hari itu ada diskon jadi Rp 300 ribu. Charge Rp 10 000 ditambahkan jika kita mau dijemput di hotel. Kita pesan dengan biaya jemputan, jadi totalnya Rp 620 000. Okelah, agak membengkak dari budget awal, tapi tak mengapa, daripada pakai fastboat Blue Water yang harga per orangnya Rp 500 ribuan, mending ini lah.
Dan daripada naik ferry yang lama (bisa sampe 6 jam) yang kapalnya udah jadul gitu, emang mending Perama Boat. Dengan harga segitu kita udah dapet makan pagi, makan siang, dan di kapalnya ada 3 toilet yang lumayan bersih.
Selesai urusan transportasi. Kita langsung check in di Hotel Puri Bunga. Hotel ini murah meriah tapi cukup okelah, walau perabotannya cukup jadul. Yang standard AC-nya aja harganya 250 ribuan. Kita dapet kamar Deluxe seharga Rp 325 000. Buat lebih jelas liat tarif kamarnya bisa klik di: http://www.puribungalombok.com
Kamar cottage kami ada nun jauh di lereng bukit. Dari lobby, kita naik cukup banyak undak-undakan. Pokoknya sampe kamar dengkul lemes, nafas ngos-ngosan deh. Sebenernya gak cocok buat hanimun, karena baru nyampe kamar udah keabisan tenaga, gimana mau ”perang” coba, hahahha.
Tapi begitu buka pintu balkon. Wuiidiiih, viewnya emang keren. Dari balkon kita bisa melihat laut selat Lombok nan lepas. Langit biru dan kapal-kapal nelayan berarak di birunya laut pantai Senggigi. Perfecto!
Jadi kalauRemote TV ngadat jadi musti mencet TV secara manual...liat aja viewnya
Kalau kesel karena AC-nya kurang dingin...liat aja viewnya.
Saat keran showernya agak macet dan bath tub-nya bompel-bompel...liat aja viewnya
Oya, lokasi hotel Puri Bunga ini sangat strategis, karena cuma 5 menit jalan ke Pantai Senggigi dan terletak persis di depan Senggigi Art Market dan tempat restoran dan bar. Jadi mau ke pantai atau belanja, tinggal koprol sekali aja.
Saat di Lombok Acum baru inget kalo dia punya teman di pulau ini. Namanya Bowo, gitaris band dari Jogja bernama Southern Beach Terror. Bowo ini punya usaha warnet dan kafe di depan Universitas Mataram (hebat ya teman-teman kami para pengusaha yang ulet semua, angkat dua jempol buat kalian!)
Malamnya kami janjian di lobby hotel, buat jalan-jalan naik mobilnya dia. Bowo juga bawa beberapa botol bir untuk dinikmati di pinggir pantai. Waah baik banget dia.
Lalu kami diajak makan Ayam Taliwang yang terkenal itu. Bowo bawa kita ke restoran Ayam Taliwang yang pertama kali ada di Indonesia. Restoran Ayam Taliwang yang legendaris ini adanya di daerah Cakranegara, maap nama jalannya lupa. Kalo ke sana bilang aja Restoran Ayam Taliwang di Cakranegara, orang-orang udah pada tau kok.
Bowo dan hamparan makan malam kami, Ayam Taliwang:
Di resto ini semua menunya pedas-pedas! Yang gak pedas paling cuma air putih, teh botol sama pudding-nya aja. Tapi emang enak banget sih, aku paling suka Beberuk, yaitu ”karedok” ala Lombok yang terbuat dari irisan terong campur daging ayam, supeeerr uenak dan pedas banget tentunya. Aku yang cuma makan Ayam Bakar dan ”karedok” itu makan sampe keringetan, apalagi Acum yang makan Ayam Taliwang super pedas. Wuiih, keringetnya banjir! Yang bikin gak enak di sini cuma 1, yaitu pas bayar. Bukan karena harganya yang mahal, harganya murah banget justru (makan bertiga macem2 lauk, cuma abis 100 ribuan). Yang bikin gak enak itu karena Bowo kekeuh pengen bayarin kita, aduuh tamu durhaka banget deh, udah ditebengin mobil, dibawain bir eh makan dibayarin pulak.
Akhirnya sebelum balik ke Senggigi kita mampir toserba gitu dan beli banyak snack dan kacang untuk dimakan sebagai teman minum bir. Di pinggir pantai kita nemu Gazebo dan menggelar ”bekal” di situ. Acum dan Bowo emang dasar udah gak ketemu bertahun-tahun, betaaah banget ngobrol soal musik sampe berjam-jam.
Selagi kita nyantai minum bir dan makan kacang (ahahay, preman pengkolan banget dah), tiba-tiba ada 2 orang bapak-bapak yang datang sambil bawa peralatan nyelam. Ih aneh banget, diving kok malem-malem gini,apanya yang mau diliat.
Ternyata mereka ini adalah para pencari ikan hias, yang memang biasa beroperasi di malam hari. Setelah sekitar 20 menit mereka pergi menyelam, mereka pulang dengan hanya membawa 2 ikan seperti ikan Bawal kecil. Ternyata, mereka gak dapat banyak ikan karena terlalu banyak sampah. Duh, sayang deh pantai Senggigi ini sebenernya cantik, tapi udah banyak yang gak peduli sama kebersihan laut.
Setelah 3 jam lebih ngobrol-ngobrol di pinggir pantai. Akhirnya kita pulang balik lagi ke hotel. Terima kasih banget Bowo Southern Beach Terror for being such a good host in Lombok. Tadinya dia malah nawarin mau jadi guide kita untuk jalan-jalan besok hari, tapi kita udah pesan mobil dan driver sih (untungnya udah pesan, kalo nggak, nggak enak kan ngerepotin mulu)
Yak, waktunya balik ke hotel. Kembali “mendaki” jalan menuju kamar.
Selamat malam Senggigi, besok kami akan menjelajah Lombok lebih luas lagi.
Next: Tour sehari di Lombok, dari Banyumulek hingga Tanjung Aan.
Labels: fun fun fun, vacation
Bali Lombok Trip 2010, part 1: Unforgetable Ubud.
Tanggal 7 Maret 2010 lalu adalah hari anniversary pertama kami. Kebetulan pula sejak Agustus lalu, kami berhasil dapat tiket promo Airasia Jakarta Bali p.p yang super murah untuk tanggal 13-17 Maret 2010 (hanya Rp 450 ribu P.P untuk 2 orang)
Karenanya, hari sabtu tanggal 13 Maret lalu kami sangat-sangat-excited untuk pergi ke Bali. Saking excitednya, kami tiba di Bandara Soetta, 2 jam lebih awal, maka jadilah kami menghabiskan waktu menunggu di Bandara dengan ngopi-ngopi di Jco dulu.
Tiba saatnya menunggu boarding di Terminal 3. Ternyata pesawat AirAsia kami delay 30 menit (biasa deh penerbangan PPD, Pulang Pergi Delay), maka saya memutuskan untuk tidur-tiduran dulu di kursi ruang tunggu dengan berbantalkan Tubular Shawl Cottonink warna merah saya. Beberapa menit memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara PA yang mengatakan pesawat kami siap boarding.
Karena kami sangat-sangat excited. Dengan riang gembiar kami bergegas naik ke atas bis transfer ke pesawat. Di dalam bis, tiba-tiba senyum riang saya menghilang dan berganti wajah panik. Tubular Shawl Cottonink warna merah saya ketinggalaaaannn. Anyiiingg! Mau marah rasanya. Jadilah selama penerbangan muka saya manyun dan Acum menjadi suami yang sabar dengan menenangkan diri saya. Huhuhu kesaal.
Tapi kekesalan itu terhapuskan saat kami dijemput oleh Jeffry The, sahabat lama Acum yang kini menetap di Ubud bersama istrinya Nelly a.k.a Pippi. Mereka berdua ini merintis usaha susu kedelai organik dengan klien bule-bule hippies di Ubud. Kalo kalian lagi ke Ubud dan ke organic marketnya dan nemu susu kedelai aneka rasa bermerk ”dLe” itulah susu kedelai hasil buah tangan pasutri kreatif ini.
Oke, setelah dijemput Jeffry, Acum punya special request buat makan nasi pedas ibu Andika di Jl. Raya Kuta (dekat hotel Puri Dibia). Nasi pedas sebenarnya mirip nasi rames biasa. Nasi putih dengan berbagai pilihan lauk, dari suwiran ayam, kering tempe, telur, tahu, dll. Dan sesuai namanya memang sangat pedas sekali. Aku sih karena memang kurang suka makan pedas-pedas jadi hanya habis nasi ½, sementara Acum habis 2 bungkus nasi. Hehe, abis nyangkul sawah di mana kang?
Habis makan kita menuju ke Ubud. Tepatnya ke Teba House di Jl. Sugriwa. Teba House ini adalah homestay yang cantik dan murah hanya Rp 170 ribu/malam including breakfast. Karena flight kita tiba di Bali menjelang tengah malam, dan tiba di Ubud sekitar jam 2 dini hari, maka kita memilih tinggal di homestay yang sederhana saja. Tanpa AC dan amenities seperti di hotel. Toh hanya buat tidur dan mandi aja kok.
Teba Homestay:
IDR 170k/malam including breakfast, kamar pake kipas.
Di sini kita baru tau kalo di homestay itu fasilitasnya sangat-sangat basic (lebih basic dari perkiraan). Don’t expect too much kalau mau nikmatin tinggal di homestay. Dindingnya tipis kaya tinggal di rumah petak. Jadi kalo niatnya mau hanimun dan ehem-ehem…mending jangan di homestay. Jadi buat malam kedua kita cari hotel yang lebih proper, dan masuk budget tentunya.
Keesokan paginya kami makan pagi di teras kamar. Menunya Banana Pancake super enaak dan wangi. Jangan bayangin pancake bule ala pancious. Banana pancake ala Bali itu lebih mirip crepes kue serabi dengan buah pisang nan manis di tengahnya. Di atasnya ditaburi parutan kelapa yang gurih banget. Breakfast pancake di Teba house ini emang konon terkenal enaknya (baca di Tripadvisor.com, bule-bule pada suka banget sama pancake ini)
Abis sarapan kita jalan-jalan di sekitar Ubud, buat nyari hotel buat malam kedua. Untuk kali ini kita mau nyari hotel yang agak ”mewah” dikit lah dan jaraknya lebih dekat ke Perama Bus Station. Akhirnya we’ve stumbled upon sebuah hotel asri dan modern bernama Puri Artha. Iseng-iseng nanya tariff dan iseng-iseng nawar pula (belum pernah seumur hidup gue tawar-menawar kamar hotel, serasa nawar baju di Mangga Dua aja, hahaha). Akhirnya dapatlah kami kamar standard hotel bintang 3 dengan AC dan amenities yang cukup oke, dengan harga Rp 400 ribu/malam dari harga semula US 60/ malam. Nice!
Hotel Puri Artha:
IDR 400k/malam (by nego dan karena Nyepi dikasi harga murah, biasanya US$ 60 kamar standard)
Siang harinya kami dijemput Jeffry untuk berjalan-jalan. Kita disewain mobil Karimun dengan harga sinting murah. Rp 200 ribu untuk satu setengah hari, tanpa driver dan BBM. Mobil inilah yang menjemput kami semalam, jadi sudah terpakai setengah hari dan available untuk di”abuse” seharian. Tapi ingat ya, ini karena yang punya mobil adalah langganan baik Jeffry dan tidak menggambarkan harga yang sebenarnya hehe.
Acum dan Jeffry, udah 6 tahun gak ketemu, akhirnya bersua di Ubud:
Setelah check out. Kita jalan-jalan ke Campuhan dan foto-foto sebentar di jembatan Campuhan. Lalu kita mampir bentar ke rumah salah satu teman dan pelanggan susu kedelainya Jeffry, bernama Bu Nancy, seorang wanita Amerika usia 53 tahun yang udah puluhan tahun tinggal di Bali dan bekerja sebagai freelancer IT. Dia suka memasak dan hari itu dia berulang tahun, jadi kita ke sana diundang makan-makan, hehe...lumayan dapet gratisan.
Bu Nancy bikin pizza tertutup, namanya Stromboli. Itu adonannya Pizza tapi toppingnya di dalam, pake Italian sausage yang rasanya gurih dan pedas. YUMMY! Trus ada salad dengan aneka dressing dari thousand island, french dressing sampai favoritku yaitu fish-mayo sauce. Buat penutupnya kita makan pound cake kayumanis. Uenaaakkk!!!
Di sini kita sempet ngobrol sama Daniel, pria paruh baya dari Chile yang jadi tetangga sebelah rumahnya Bu Nancy. Bahasa Inggrisnya Daniel acak adul, tapi orangnya cukup ramah. Daniel ini pengusaha yang tinggal di Bali, dia bisnis garmen dan jualan ini itu dan berencana buka kafe di Ubud.
Kia juga main-main ke sawah depan rumahnya Jeffry dan saking asyiknya, betis gue kesabet dahan padi yang tajam jadi luka kegores. Yaa namanya orang kota ketemu sawah yang menguning emang bawaannya gemes.
"halaman" depan rumahnya Jeffry dan Pippi, yep, hamparan sawah!
Beberapa hari menjelang Nyepi,di Bali orang-orang lagi sibuk bikin ogoh-ogoh buat diarak besok Senin, menjelang Nyepi. Ogoh-ogoh itu adalah patung raksasa dari fiberglass atau kertas yang akan diarak keliling kampung. Ogoh-ogoh ini adalah perlambang sifat-sifat jahat manusia, makanya biasanya Ogoh-ogoh ini bentuknya seram-seram. Dari Buto Ijo sampe genderuwo, meskipun ada juga yang saking kreatifnya bikin Ogoh-ogoh yang agak ”menyimpang” dan buat lucu-lucuan. Ada yang bikin Ogoh-ogoh punk rocker, anak SD, sampe Upin-Ipin. Kacaw deh hehehe.
Ogoh-ogoh:
Jalan di sekitar Puri Ubud juga cukup unik, karena jalan ini diaspal secara gotong royong dan mereka yang udah "patungan" untuk mengaspal jalan ini bisa mengabadikan nama mereka atau hotel/institusi mereka di atas cetakan semen ini. Banyak juga nama orang bule-nya lho.
Terus kita sempat foto-foto di Puri Ubud, istana kerajaan Ubud. Tapi hanya bisa foto-foto di pelataran dalam, karena ada bagian-bagian istana yang ditutup menjelang Hari Raya Nyepi. Untuk masuk ke dalam Pura pun harus memakai pakaian khusus upacara. Di hari-hari biasa, turis bisa masuk ke pura dengan menyewa kain dan ikat pinggang. Tapi di hari-hari besar, untuk masuk ke pura harus pakai baju kebaya lengkap dan baju adat buat yang pria. No t-shirt apalagi tank top. Kata Jeffry, alasan kenapa untuk masuk ke Pura musti menutup bagian pinggang ke bawah dengan sarung itu karena dari pusar ke bawah itu asal nafsu buruk berasal. Lapar, nafsu birahi, dsb, makanya harus ditutup saat masuk Pura.
Puri Ubud:
Pulang dari situ, kita balik ke hotel buat ngadem,mandi dan istirahat. Ubud di siang hari sangat panas, tapi panasnya cenderung lembab, nggak kering dan berpolusi kaya di Jakarta.
Abis puas istirahat dan udah rapi mandi. Kita jalan-jalan sekitar jalan hanoman dan nemu cafe bernama...Kafe. Hehe nggak kreatip emang bikin nama. Kafe ini adalh tempat hangout wajib bule-bule hippies (itu tuh yang doyan Yoga, vegetarian dan makanannya serba organic). Di Kafe ini menunya emang serba organic dan cenderung ”aneh”, salad pepaya dan smoothies gandum apalah itu. Di sini kamu WAJIB coba home made apple pie-nya. Uenaaakk bangett! Serius. Banget! Asem-manis- lembut –tapi luarnya agak renyah. Cocok buat teman minum teh di sore hari.
cafe KAFE, Jl. Hanoman, Ubud:
The amazing homemade Organic Apple Pie with a scoop of Vanilla Ice Cream
Di sini kita sempet ketawa ngakak baca coffee table book berjudul "Indonesian Truck Paintings" kompilasi foto hasil jepretan seorang bule, tentang "fenomena" lukisan truk yang unik2 di Indonesia. Dari yang serius gambar pemandangan hingga gambar cewek dan tulisan "Aku tak mau dimadu" hehehehe.
Di kafe ini kita janjian sama Jeffry dan diajak liat sunset di bukit Campuhan. Tapi karena agak telat datangnya, pas hiking di Bukit udah agak gelap jadinya gak bisa foto-foto.
Di bukit Campuhan ini juga ada Pura, dan ketika kami turun trekking, ada iring-iringan warga yang hendak sembahyang di Pura itu. Yang pria pakai baju adat putih dan yang wanita pakai kebaya warna-warni dan ikat pinggang yang serasi. Ada juga pria bule menggandeng anak dan istrinya yang warga Bali. Mereka masuk ke Pura buat sembahyang.
Pulang dari situ kita makan di Naughty Nuri yang letaknya kira-kira 100m dari jembatan Campuhan. Di sini orang ramai banget sampe ngantri-ngantri buat makan. Untung kita dateng just in time, sehingga dapet tempat duduk. Langsung deh kita pesen BBQ Pork Ribs 2 porsi buat bertiga lengkap dengan mash potato dan Bir Bintang dingin. Porsi makanan di Naughty Nuri ini ”bule” banget jadi porsinya buanyaak dan besar.1 piring sendiri kayanya kebanyakan deh.
Naughty Nuri's:
Abis makan, kita sempet nyari oleh-oleh Brem Bali tapi ternyata di supermarket Ubud lagi habis, jadi mungkin belinya di Kuta aja besok. Lalu kita jalan-jalan di sekitar jalan Bisma dan parkir di dekat Puri Ubud untuk liat upacara menjelang Nyepi. Jalanan ramai banget dan orang-orang Bali sibuk berjalan menuju Pura membawa macam-macam sesajen dari yang kecil hingga yang tumpukannya tinggi di atas kepala. Amazing!
Upacara di Puri Ubud:
Lalu sembari balikin mobil, kita mampir ke toko organic tempat Jeffry biasa nitipin barang, namanya Laughing Buddha. Di sana aku beli setoples sambal manis yang organic buat oleh-oleh. Kelar urusan balikin mobil kami bertiga jalan kaki ke hotel, lumayan jauh juga lah dari Laughing Buddha ke hotel. Sampe di hotel, Acum ngebir-ngebir dulu sambil ngobrol sama Jeffry, sementara gue balik ke kamar buat mandi trus tidur. Badan rasanya pegel dan mau rontok. Selamat malam Ubud, it’s been a lovely night
*to be Continued: from Bali to Lombok*
Labels: fun fun fun, vacation